PEMERINTAHAN - Bayangkan seorang pejabat yang duduk manis di ruangannya, lengkap dengan meja kayu berukir dan kursi empuk yang megah. Segala kebijakan yang ia buat terasa sempurna… di matanya sendiri, tentunya. Lalu datanglah kritik dari rakyat yang melihat kebijakan itu dari sudut yang berbeda. Alih-alih merenungkan, si pejabat justru meradang, baper! Memangnya kenapa? Bukankah kritik adalah bagian dari tugas mereka?
Mari kita renungkan, kalau pejabat tidak siap dikritik, lalu apa gunanya jabatan itu? Di dunia demokrasi, kritik adalah kunci untuk menjaga kewarasan pemerintahan. Kritik dari rakyat, pers, atau lembaga pengawas bukan untuk menjatuhkan, tapi agar mereka, para pejabat, ingat pada tugasnya yang mulia: melayani, bukan dilayani.
Baca juga:
Satpol PP Padang Disiapkan Jadi Pasukan Elit
|
Sejujurnya, menerima kritik itu memang tak mudah. Tapi di situlah ujian sejati seorang pemimpin. Ketika pejabat terbuka pada kritik, itu artinya mereka siap mengakui kesalahan dan, yang lebih penting, siap memperbaiki diri. Transparansi di sini bukan sekadar jargon kosong; inilah yang membuat rakyat merasa dilibatkan. Semakin banyak kritik yang diterima dan dihadapi dengan kepala dingin, semakin besar pula kepercayaan publik pada pejabat tersebut.
Namun, mari kita jujur. Tak semua kritik itu manis dan santun. Ada kritik yang pedas, bahkan menusuk. Tapi bukankah itu risiko dari duduk di kursi kekuasaan? Pejabat yang baik harus bisa memilah: mana kritik yang membangun, mana yang sekadar omelan. Kritik pedas tak seharusnya dijadikan alasan untuk meradang, tapi sebagai bahan bakar introspeksi. Karena, bukankah yang disampaikan rakyat itu adalah harapan agar kebijakan semakin baik?
Nah, sekarang saatnya bertanya: apakah pejabat kita siap? Kalau belum, mungkin mereka butuh sedikit latihan menerima kritik. Misalnya dengan pelatihan komunikasi, atau belajar cara mengelola konflik. Intinya, jangan baper duluan! Sebab jika baper, publik pun bisa kehilangan harapan. Pejabat yang profesional justru mengundang kritik sebagai cermin untuk refleksi diri.
Jadi, untuk para pejabat yang terhormat, ingatlah bahwa kritik bukanlah ancaman. Itu adalah suara rakyat yang ingin dilibatkan. Kalau takut dikritik, mungkin kursi kekuasaan bukan tempat yang cocok. Tapi kalau berani? Selamat datang di dunia demokrasi sejati!
Jakarta, 01 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi